HIMC Beberkan Dugaan Pungutan Rp1,3 Juta per Siswa di PPDB 2024
Kasus Pungli PPDB SMPN 2 Kademangan Blitar Naik ke Tahap Pemeriksaan
KABUPATEN BLITAR (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Setelah sempat tersendat hampir satu tahun, laporan dari Himpunan Insan Muda Cendekia (HIMC) terkait dugaan pungutan liar (pungli) dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 di SMPN 2 Kademangan, Kabupaten Blitar, akhirnya membuahkan hasil.
Kasus tersebut kini resmi naik ke tahap pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Blitar, setelah sejumlah wali murid mulai dimintai keterangan pada Selasa (8/10/2025).
Dalam laporannya, HIMC menyoroti adanya pungutan biaya yang dibebankan kepada siswa baru, meliputi:
- Jariyah Kelas VII: Rp525.000
- Kain seragam: Rp505.000
- Atribut sekolah: Rp325.000
Total pungutan per siswa mencapai Rp1.355.000.
Menurut Hanif, Koordinator HIMC Kabupaten Blitar sekaligus aktivis HMI, pungutan tersebut jelas menyalahi aturan.
“Mengacu pada Permendikbud No. 44 Tahun 2012, sekolah negeri dilarang memungut biaya pendidikan dalam bentuk apa pun,” tegasnya.
Ia juga mengutip Pasal 181 huruf d PP No. 17 Tahun 2010 yang melarang tenaga pendidik melakukan pungutan kepada peserta didik secara langsung maupun tidak langsung.
Hanif heran mengapa masih ada sekolah negeri yang menarik pungutan jutaan rupiah dalam proses PPDB.
“Ini aneh, karena aturan sudah jelas melarang. Tapi praktiknya masih terjadi,” ujarnya saat mendampingi saksi korban di Kejari Blitar. Salah satu wali murid, Sri, mengaku terpaksa membayar pungutan itu meski merasa keberatan.
“Saya hanya tukang sapu di makam, penghasilan Rp300 ribu setahun. Tapi anak saya tetap harus bayar iuran jutaan,” ujarnya. Sri juga mengungkap bahwa jika dihitung dari seluruh siswa, jumlah uang yang terkumpul bisa mencapai Rp168 juta hanya dari iuran jariyah.
Sementara itu, LBH Cakra Tirta Mustika Blitar, selaku kuasa hukum para wali murid, menegaskan bahwa PPDB di sekolah negeri seharusnya diselenggarakan secara objektif, transparan, dan bebas pungli.
“Pelaku pungli bisa dijerat UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12E, dengan ancaman 4–20 tahun penjara,” jelasnya. Selain itu, pelaku juga bisa dikenakan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman sembilan bulan, atau Pasal 423 KUHP bagi pegawai negeri dengan hukuman maksimal enam tahun penjara.
Dari sumber internal Kejaksaan Negeri Blitar disebutkan bahwa penyidik telah memanggil tiga pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, yakni dari bidang Sarana Prasarana, Dikmen, dan Kadindik untuk dimintai keterangan.
Kasus ini kini memasuki babak baru dan menjadi perhatian publik, mengingat menyangkut transparansi pendidikan dasar di Kabupaten Blitar.
(R_win)