Banyak Pelajar Jadi Tersangka Kerusuhan, Tepatkah Polisi Berlaku Keras dengan Pasal Berat ?

oleh : -
Banyak Pelajar Jadi Tersangka Kerusuhan, Tepatkah Polisi Berlaku Keras dengan Pasal Berat ?

SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur) – Jumlah pelajar yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kerusuhan di sejumlah daerah akhir Agustus hingga awal September 2025 memantik perdebatan publik. Data resmi kepolisian menunjukkan mayoritas tersangka berstatus pelajar bahkan ada yang masih di bawah umur.

Di satu sisi, penegakan hukum mutlak dilakukan demi menjaga stabilitas dan ketertiban umum. Namun di sisi lain, pertanyaan besar muncul: apakah tepat anak-anak ini langsung dijerat pasal berat, sementara mereka masih memiliki hak pendidikan dan masa depan panjang?

Data Penangkapan dari Jumpa Pers Kepolisian

  • Polda Jatim menetapkan 9 tersangka pembakaran Gedung Negara Grahadi Surabaya, terdiri dari 8 anak-anak dan 1 dewasa berinisial AEP. “AEP berperan membuat dan melempar lima bom molotov, sementara anak-anak membantu dalam pembuatan dan eksekusi,” ujar Kapolda Jatim Irjen Pol Imam Imanuddin (2/9/2025). AEP dijerat Pasal 187 KUHP dengan ancaman hingga 12 tahun penjara, sedangkan 8 anak diproses melalui jalur peradilan anak.
  • Polrestabes Surabaya mengamankan 315 orang (187 dewasa dan 128 anak berhadapan dengan hukum/ABH). Dari jumlah itu, 33 orang ditetapkan tersangka: 27 dewasa ditahan, sementara 6 anak dikembalikan ke orang tua dengan pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas). “Barang bukti yang kami amankan di antaranya bom molotov, senjata tajam, serta pakaian dan ponsel pelaku,” jelas Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Pasma Royce (5/9/2025).
  • Polda Jateng mengamankan 1.747 orang, mayoritas pelajar SMP dan SMA. Dari jumlah itu, 46 orang ditetapkan tersangka, termasuk 7 anak di bawah umur. Polda Metro Jaya (Jakarta) menetapkan 43 tersangka, di mana 1 di antaranya anak-anak tidak ditahan. Mereka dijerat pasal berlapis mulai dari Pasal 160 KUHP (penghasutan), UU ITE, hingga UU Perlindungan Anak.
  • Polda Sulsel / Makassar: Tindaklanjuti kerusuhan dan pembakaran Gedung DPRD kota dan provinsi. 29 orang ditetapkan tersangka, termasuk 5 anak di bawah umur. Tersangka dikenai pasal pembakaran, perusakan, pencurian, dan ujaran kebencian.
    Analisis:

Tepatkah Pasal Berat untuk Pelajar ?
Penerapan pasal berat pada pelajar memang memperlihatkan ketegasan negara. Polisi menilai tindak anarkis seperti pembakaran gedung, penyerangan aparat, dan penjarahan adalah kejahatan serius yang tidak bisa ditoleransi.

Namun, jika anak-anak diproses layaknya kriminal dewasa, ada risiko serius:

  • Stigma sosial jangka panjang yang bisa melekat sepanjang hidup.
  • Putus sekolah, karena proses hukum dan penahanan memutus akses pendidikan.
  • Trauma psikologis dan potensi radikalisasi, alih-alih jera mereka bisa menyimpan dendam.

Pelajar Lebih Tepat Dipandang sebagai Korban Provokator. Mengapa banyak pihak menilai pelajar hanyalah korban provokasi ?.

Keterbatasan kedewasaan psikologis
Anak-anak belum matang secara emosional, mudah terbawa emosi massa atau ajakan senior. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengakui keterbatasan ini.

Peran provokator yang dominan
Data polisi menunjukkan selalu ada otak dewasa: perakit molotov, penyebar ajakan lewat media sosial, hingga penghasut di lapangan. Anak-anak lebih sering ikut-ikutan.

Minimnya literasi hukum dan digital
Banyak pelajar tidak paham konsekuensi hukum dari tindakannya. Mereka melihat kerusuhan hanya sebagai “aksi solidaritas” atau “seru-seruan”, tanpa memahami dampak fatalnya.

5 (lima) langkah Konkret Pemerintah: Efek Jera Tanpa Menghancurkan Masa Depan

  • Reorientasi Paradigma: dari Represif ke Restoratif. Restorative justice harus jadi kerangka utama bagi pelajar. Proses hukum tetap jalan, tapi orientasinya pembinaan, bukan penghukuman.
  • Skema Hukuman Proporsional. Provokator utama pantas dijerat pasal berat. Pelajar yang hanya ikut-ikutan diarahkan ke hukuman sosial, konseling, dan pembinaan.
  • Kolaborasi Multi-Sektor. Libatkan kepolisian, sekolah, orang tua, Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Komnas HAM, hingga Bapas.
  • Program Nasional Pembinaan Pasca-Kerusuhan. Efek jera bisa diwujudkan lewat program bela negara, kerja sosial, pelatihan kewirausahaan, seni, dan olahraga.

Perkuat Literasi Digital & Pendidikan Kewargaan. Generasi muda harus lebih tahan terhadap hoaks dan provokasi media sosial.
Pendapat saya, bahwa benar jika dikatakan pelajar dan anak-anak lebih tepat dipandang sebagai korban provokator ketimbang pelaku murni. Mereka terjebak dalam situasi yang dikendalikan orang dewasa, meski tetap memiliki tanggung jawab hukum. Paradigma yang sebaiknya diambil pemerintah adalah paradigma hibrida: tegas pada provokator, humanis pada pelajar. Dengan begitu, negara tidak hanya menunjukkan kewibawaan hukum, tetapi juga menjaga masa depan generasi mudanya. (***)

banner 400x130
banner 728x90