Tahanan Tewas di Polsek Medan Kota Harus Diungkap Sesuai Fakta

BEDIL, Berita Opini
Oleh : Eka Putra Zakran, SH MH
Reporter : S Erfan Nurali
Menyikapi tewasnya seorang tahanan dan beredarnya rumor tak sedap soal adanya dugaan Kapolsek Medan Kota menerima uang suap sebagai biaya penghentian perkara alias 86 pada kasus narkoba mendapat sorotan dari pengamat hukum dan sosial Sumut Eka Putra Zakran, SH MH (Epza).Hal itu disampaikan Epza pada Sabtu, 01/1/2022 di Medan.
Dikatakan, jika benar rumor yang beredar bahwa Kapolsek Medan Kota terlibat menerima uang suap atau 86 untuk menghentikan perkara narkoba yang notabene diadalamnya ada dugaan peristiwa penyiksaan terhadap tahanan, sehingga menyebabkan tahanan meninggal, maka perbuatan itu jelas pelanggaran, bukan hanya disiplin tapi pidana.
Hemat saya Bid Propam Polda Sumut harus memanggil dan memeriksa Kapolsek tersebut guna mengungkap rumor yang beredar soal isu 86 dan kematian tahanan berinisial Z. Kita mendengar informasi bahwa sebelum meninggal dalam kondisi mengenaskan, Z sempat mengaku bahwa dirinya disiksa ketika berada ditahanan Polsek Medan Kota. Bahkan bukan hanya disiksa, Z juga diminta uang sebesar Rp. 25 juta oleh penyidik untuk alasan pembebasan.
Nah, jika rumor dan isu ini benar, maka perbuatan tersebut jelas pelanggaran, bukan hanya pelanggaran disiplin tapi juga pidana. Sebab itu, peristiwa ini harus diungkap sesuai dengan fakta hukum yang terjadi sebenarnya.
Terkait tahanan tewas ini, sudah dua tahanan kasus narkoba meninggal di polsek Medan Kota dalam kondisi mengenaskan alias tidak wajar saat menjalani proses hukum.
Sebelumnya adalah inisial APG (Aryes Prayudi Ginting) dan sekarang inisial Z (Zailani) ini. Sebab itu agar rumor yang beredar tidak menjadi liar, maka perlu diungkap sesuai fakta. Selanjutnya jika berbukti pelanggaran itu, para pelaku wajib diberi sanksi tegas, jangan hanya sekedar sanksi disiplin atau administratif. Jangan lagi sebatas mutasi tapi sangat perlu pemecatan supaya ada efek jera (shock teraphy), sehingga kedepan tidak ada lagi personil polisi yang berani bermain-main dan profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab itu, hukum harus berada pada posisi yang tertinggi, yaitu sebagai panglima. Jika hukum sudah dijadikan sebagai panglima, maka sejatinya tidak ada alasan untuk tidak menegakkan supremasi hukum.
Penegakan supremasi hukum dimaksud adalah upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi yang tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, maka hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan/atau dari pihak manapun, termasuk dari penyelenggara negara. Penegakan supremasi hukum dimaksud juga tidak hanya sekedar tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, tapi juga harus diiringi oleh kemampuan menegakkan kaidah hukum.
Supremasi hukum juga dipahami sebagai salah esensi demokrasi, karena berimplikasi terhadap dua hal, yaitu: Pertama mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan. Kedua menjaga masyarakat agar dalam menjalankan hak-haknya tidak terjerumus dalam tindakan di luar batas hukum yang acap kali bertindak anarkis.Disamping itu, asas hukum aquality before the law, yaitu asas persamaan kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum wajib untuk di junjung tinggi. Artinya orang-orang yang bersalah sudah pantas diberi sanksi hukum yang sama tanpa membedakan status sosial dan lain sebagainya. Hukum pidana diperuntukkan bukan hanya berlaku kepada masyarakat saja, tapi juga kepada aparatur penegak hukum yang berbuat salah juga. Jadi tidak ada dasar atau alasan pembenar bagi si A dihukum dan si B tidak dihukum ketika telah nyata berbuat salah. Komentar ini bukan merupakan kebencian, tapi sebaliknya merupakan bentuk kecintaan kepada institusi Polri. Jika ada pelanggaran yang bermuara pada suatu tindak kejahatan dilakukan oleh personil Polri, maka oknum tersebut wajib diberi sanksi tegas agar tidak berulang.
Tindakan tegas dilakukan dalam rangka menyelamatkan dan menjaga kualitas dan kredibilitas institusi kepolisian, sehingga kepercayaan publik terhadap lembaga ini tetap tinggi. Hemat penulis, siapa pun di negeri ini, pasti punya harapan besar terhadap organisasi kepolisian menjadi yang terbaikHarapan kita jangan sampai rumor yang beredar itu benar terjadi, namun jika benar maka perbuatan tersebut merupakan pelanggaraan dan masuk dalam kategori menyalahgunakan kekuasaan dan/atau kewenangan (ebusi of power and abuse of autorithy).
Penyalahgunaan kekuasaan bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pemerintahan yang baik dan bersih (good clean and governant). Istilah good governance di Indonesia diartikan sebagai konsep pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa. Istilah good dan governance diambil dari bahasa Inggris, yaitu good dan governace. Good memiliki arti nilai yang menjunjung tinggi keingan rakyat, kemadirian, aspek fungsional, serta pemerintahan yang efektif dan efesien. Sementara, governance (tata pemerintaha) memiliki arti seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban, serta menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka. Nah, konsep ini jangan dijadikan hanya sebatas life service semata, tapi lebih jauh harus benar-benar diterapkan pada setiap lini pelaksanaa pemerintahan, ternasuk institusi Polri. Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi kepolisian adalah sangat luhur (mulia). Nah, pertanyaannya bagaimana mungkin upaya penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat terlaksana dengan baik, sementara mental aparatnya rusak?, tentu secara logika hukum jelas itu sesutu yang mustahil.Berkaitan dengan upaya menegakkan supremasi hukum, Laurence M. Friedman, soeorang profesor hukum, sejarawan, ahli sejarah hukum Amerika dan penulis buku-buku fiksi dan nonfiksi, menyatakan ada 3 (tiga) instrumen yang saling mempengaruhi, diantaranya: Pertama, Substansi (Substance), yaitu peraturan/regulasi dan/atau UU; Kedua, Struktur (Structure), yaitu aparatur hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Hakim dan Advokat; Ketiga, Kultur (Culture/budaya), yaitu budaya hukum masyarakat atau dengan kata lain hal ini menyangkut pada ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap hukum.