Skandal Kredit Fiktif BPR Blitar

Skandal Kredit Fiktif BPR Penataran Blitar, OJK Diminta Turun Tangan Usut Pelanggaran UU

oleh : -
Skandal Kredit Fiktif BPR Penataran Blitar, OJK Diminta Turun Tangan Usut Pelanggaran UU
Dok Foto : Didik Dwi Wahyudi Bersama Istrinya Triana Wulandari

KABUPATEN BLITAR (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia (OJK RI) diminta segera memonitor dan mengusut dugaan pelanggaran Undang-Undang Perbankan yang dilakukan oleh PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) PENATARAN Kabupaten Blitar Perseroda—sebelumnya bernama PT. BPR HAMBANGUN ARTHA SELARAS.

Permintaan ini disampaikan oleh Kepala Perwakilan LEMBAGA BANTUAN HUKUAM CAKRA TIRTA MUSTIKA (LBH CAKRAM) Blitar Raya, Wiwin Dwi Jatmiko, selaku kuasa hukum dari pasangan debitur Didik Dwi Wahyudi dan Triana Wulandari, warga Kelurahan Karangsari, Kota Blitar.

Dok Foto : Sonny Fassadhel Kepala cabang PT BPR Penataran BlitarDok Foto : Sonny Fassadhel Kepala cabang PT BPR Penataran Blitar

LBH menyoroti serangkaian dugaan penyimpangan yang terjadi sejak awal akad kredit hingga penyelesaian sengketa, termasuk dugaan pembuatan data fiktif dan praktik penjualan agunan tanpa melalui mekanisme lelang resmi.

Kredit Fiktif dan Penjualan Aset Misterius
Wiwin Dwi Jatmiko menjelaskan bahwa penyimpangan dimulai sekitar tujuh tahun lalu, saat BPR yang kala itu masih bernama BPR HAMBANGUN ARTHA SELARAS mencairkan pinjaman sebesar Rp 225.000.000 kepada Didik Dwi Wahyudi.

Menurut Kuasa Hukum, verifikasi data debitur diduga dimanipulasi oleh Account Officer (AO) berinisial Sonny Fassadhel. Debitur Didik Dwi Wahyudi disebut sebagai pedagang buah, padahal faktanya tidak memiliki usaha tersebut. Data fiktif ini diduga dibuat agar pencairan dana dapat diloloskan dan terkesan tidak menyalahi aturan.

Dok Foto : Berita Acara Kesepakatan Yang Dibuat Oleh Ibnu Sina Selaku Kuasa Hukum Dari PT BPR PenataranDok Foto : Berita Acara Kesepakatan Yang Dibuat Oleh Ibnu Sina Selaku Kuasa Hukum Dari PT BPR Penataran

Pinjaman Rp 225 Juta itu dijamin dengan dua sertifikat rumah, satu milik Didik Dwi Wahyudi dan satu lagi milik ibu mertuanya, Sri Minarti. Ketika pasangan ini gagal membayar cicilan sebesar Rp 7.315.000, rumah milik Didik Dwi Wahyudi dijual oleh pihak BPR di bawah tangan tanpa proses lelang resmi melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), dengan harga Rp 160.000.000.

Yang menjadi persoalan besar, BPR PENATARAN hingga kini tidak memberikan selisih uang hasil penjualan kepada Didik Dwi Wahyudi, meskipun utang debitur seharusnya sudah lunas dan sertifikat milik Sri Minarti wajib dikembalikan.

Dugaan pelanggaran semakin melebar setelah BPR PENATARAN ganti nama. LBH Cakram menduga  pihak BPR melakukan intimidasi kepada Sri Minarti, sang ibu mertua.

"Setelah ganti nama, upaya menipu masyarakat kecil mulai dijalankan lagi oleh pihak BPR, yaitu dengan cara mengintimidasi Sri Minarti Selaku Pemilik Sertifikat SHM nomor 03858 akan menyegel rumah yang dihuni tersebut," kata Wiwin.

Intimidasi itu membuat Sri Minarti sempat pingsan. Setelah itu, rombongan oknum BPR tersebut diduga membawa Sri Minarti ke notaris berinisial Endang untuk tanda tangan dokumen sekitar tahun 2017. Tak lama kemudian, muncul debitur baru atas nama Sri Minarti dengan platform pinjaman sebesar Rp 125.000.000.

Sri Minarti mengaku terpaksa menandatangani perjanjian tersebut karena takut rumahnya disita, padahal ia mengaku tidak pernah mengajukan pinjaman apalagi menerima uangnya. Ia akhirnya menyerah dan tak mampu meneruskan angsuran pada Februari 2018.

LBH CAKRA TIRTA MUSTIKA menilai seluruh rangkaian kasus ini melabrak berbagai ketentuan, antara lain UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Hak Asasi Manusia, UU Pokok-Pokok Agraria, hingga KUH Perdata.

Hal ini diperparah dengan langkah BPR PENATARAN yang menggunakan Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Blitar untuk menangani sengketa kredit atas nama Sri Minarti.

Pada 26 November 2025, Sri Minarti diundang untuk dimintai keterangan oleh Jaksa Pengacara Negara, Ibnu Sina. Hasilnya, pada 2 Desember 2025, dibuat Berita Acara Kesepakatan yang intinya Didik Dwi Wahyudi dipaksa berkomitmen untuk membayar utang pokok sebesar Rp 111.110.400, dan harus kembali ke kejaksaan pada 4 Desember untuk menyampaikan hasil diskusi dengan keluarga.

Dikonfirmasi terpisah pada 3 Desember 2025, Sonny Fassadhel yang kini menjabat sebagai Kepala Cabang PT BPR Penataran Kabupaten Blitar membenarkan semua kejadian tersebut dan membenarkan penunjukan kejaksaan untuk mendampingi penyelesaian sengketa.

"Patut diduga telah terjadi dugaan penyimpangan sejak awal proses akad kredit, meloloskan verifikasi atas debitur yang sebenarnya tidak layak, serta mengabaikan prinsip kehati-hatian perbankan," tegas Wiwin.

Wiwin menyatakan LBH CAKRA TIRTA MUSTIKA akan segera melayangkan laporan resmi ke OJK RI, Ombudsman RI, serta Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan di Jakarta untuk menindak tegas BPR Penataran.

(R_win)

banner 400x130
banner 728x90