Dua pelajar Blitar diterima kembali sekolah, satu ditolak kembali sekolah

Siswa Blitar Kembali Sekolah Usai Vonis, Pendidikan Tak Boleh Putus

oleh : -
Siswa Blitar Kembali Sekolah Usai Vonis, Pendidikan Tak Boleh Putus
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Cakra Tirta Mustika (LBH CAKRAM) Blitar Raya, Wiwin Dwi Jatmiko dan Kepala SMPN 2 Doko Didampingi Walikelas Anak Septa

KABUPATEN BLITAR (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Pengalaman pahit dialami S.B.W., salah satu pelajar SMPN 2 Doko Kabupaten Blitar, yang sempat terseret dalam aksi unjuk rasa berujung penjarahan di Kantor DPRD Kabupaten Blitar pada 30 Agustus 2025. Bersama sejumlah remaja lainnya, ia harus berhadapan dengan proses hukum dan meninggalkan bangku sekolah untuk sementara waktu.

Tak hanya S.B.W., R.F., siswa kelas 1 SMK PGRI Wlingi Kabupaten Blitar, juga ikut terseret dalam perkara yang sama. Keduanya dinyatakan bersalah melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-2 dan ke-4 KUHP serta UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan barang bukti berupa dua kilogram gula pasir merek Rose Brand dan tujuh sachet kopi merek Kapal Api hasil penjarahan.

Dalam persidangan, Hakim Tunggal Aldy Kurniyansa Sudewa menjatuhkan vonis 1 bulan 15 hari di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Blitar, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut dua bulan kurungan. Hakim mempertimbangkan usia pelaku yang masih sangat muda serta niat yang tidak sepenuhnya lahir dari kesadaran, melainkan akibat ikut-ikutan dalam kerusuhan massa.

“Prinsip peradilan anak harus mengedepankan pembinaan, bukan hukuman,” ujar hakim Aldy Kurniyansa Sudewa dalam pertimbangannya.

Hari ini, Senin (20/10/2025), wajah ceria tampak di wajah S.B.W. Ia resmi kembali ke bangku sekolah dan mengikuti pelajaran di SMPN 2 Doko Blitar setelah menyelesaikan masa pembinaannya. Kepala SMPN 2 Doko, Anif Endrayani, membenarkan bahwa hasil musyawarah dengan Dinas Pendidikan dan dewan guru memutuskan untuk menerima S.B.W. kembali sebagai siswa aktif.

“Kami sepakat memberi kesempatan kedua dengan catatan tegas: ia tidak boleh ikut-ikutan kelompok negatif dan wajib menjaga perilaku,” ujar Anif kepada Berita Keadilan. Langkah ini mendapat apresiasi karena menunjukkan sikap sekolah yang berpihak pada hak pendidikan anak dan semangat rehabilitasi sosial.

Namun nasib berbeda dialami R.F., rekan S.B.W. dalam kasus yang sama. Setelah putusan pengadilan, SMK PGRI Wlingi Blitar justru mengirim guru untuk meminta orang tua R.F. menandatangani surat pengunduran diri. Ketika masa hukumannya berakhir, R.F. sudah tidak tercatat lagi sebagai siswa aktif.

Kuasa hukum R.F. dari LBH Cakra Tirta Mustika Blitar, Wiwin Dwi Jatmiko, menilai tindakan sekolah itu melanggar hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan.

“Pendidikan adalah hak universal yang tidak boleh dihambat, bahkan bagi anak yang pernah menjalani proses hukum. Pemerintah seharusnya membuat regulasi yang melarang sekolah menolak siswa dari lembaga pembinaan anak,” tegas Wiwin. Ia menambahkan, dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ECOSOC), pendidikan merupakan hak dasar yang harus diwujudkan secara progresif dan menyeluruh.

Menurutnya, sistem pendidikan nasional perlu menyiapkan regulasi agar anak yang pernah tersangkut hukum tetap dapat bersekolah tanpa stigma.

Kasus ini menjadi cermin bahwa pendidikan adalah ruang pemulihan, bukan penghukuman kedua. Sikap SMPN 2 Doko Blitar yang menerima kembali S.B.W. layak menjadi contoh bagi sekolah lain.

Sebaliknya, penolakan terhadap R.F. menunjukkan masih perlunya evaluasi sistem pendidikan agar tetap menjunjung tinggi hak setiap anak untuk memperoleh kesempatan belajar, tanpa diskriminasi. (R_win/Okta)

banner 400x130
banner 728x90