Iwan Kurniawan tegas tak berniat melanggar hak cipta font
Sidang Hak Cipta Font: Iwan Kurniawan Tegaskan Tak Ada Niat Jahat

KABUPATEN KULONPROGO (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)–Persidangan perkara pidana pelanggaran hak cipta font yang menyeret Iwan Kurniawan bin Ngatiran sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Wates kembali menghadirkan fakta baru. Pada sidang kesebelas, Kamis (2/10/2025), agenda pemeriksaan keterangan terdakwa membuat kasus ini semakin terang.
Iwan menegaskan dirinya tidak memiliki mens rea atau niat jahat dalam perkara ini. Ia menjelaskan bahwa pembuatan thumbnail YouTube yang menjadi pokok perkara bukan hasil pekerjaannya langsung, melainkan dikerjakan oleh freelancer bernama Tukijan.
"Saya hanya sebagai pihak yang memesan jasa pembuatan thumbnail. Saya awam soal desain grafis, sehingga tidak tahu detail penggunaan font tersebut," jelas Iwan di hadapan majelis hakim.
Sejak awal kasus bergulir, Iwan telah menawarkan perdamaian dengan ganti rugi Rp15 juta. Namun, pelapor Thomas Aredea menolak dan tetap menuntut Rp120 juta. Pada tahap mediasi, yang merupakan syarat sebelum penetapan tersangka, Thomas juga tidak mau bernegosiasi.
Hakim anggota, Nurrachman Fuadi, S.H., M.H., sempat menanyakan alasan Iwan tidak menaikkan tawarannya. Iwan menegaskan:
"Pertama, pihak Thomas tidak mau bernegosiasi karena sudah mematok harga yang tidak bisa ditawar lagi. Kedua, saya melawan karena saya tahu banyak teman-teman sesama konten kreator diperlakukan sama oleh pelapor. Saya tidak ingin ada korban berikutnya."
Fakta menarik lainnya adalah perbedaan keterangan soal lisensi font. Thomas sebelumnya menyebut lisensinya tidak bisa dibeli di platform penyedia, namun Iwan membantah dengan bukti email yang menunjukkan lisensi font tersebut tersedia secara sah dan legal. Bahkan harga lisensi disebut kerap berubah-ubah.
Dalam hukum pidana, salah satu unsur penting adalah mens rea atau kesengajaan. Fakta persidangan menunjukkan Iwan tidak memilih atau menggunakan font secara langsung, melainkan melalui pihak ketiga, sehingga posisinya lebih tepat sebagai pengguna jasa daripada pelaku langsung pelanggaran hak cipta.
Jika argumen ini dikuatkan, unsur kesengajaan bisa diperdebatkan di persidangan. Kasus ini seharusnya bisa selesai melalui jalur mediasi, namun kegagalan perundingan membuat perkara bergulir ke meja hijau.
Selain itu, adanya perubahan harga lisensi dan klaim sepihak dari pelapor membuka ruang perdebatan soal abuse of rights atau penyalahgunaan hak. Jika terbukti ada manipulasi harga, tuntutan terhadap terdakwa bisa dinilai tidak proporsional.
Perkara ini menjadi cermin bahwa masalah hak cipta digital masih menyimpan celah hukum di Indonesia. Banyak konten kreator awam terhadap aturan lisensi dan berpotensi terjerat kasus serupa.
Dengan pernyataannya, "Saya melawan karena tidak ingin ada korban berikutnya," Iwan menegaskan perjuangannya bukan semata untuk dirinya, tetapi juga untuk melindungi konten kreator lain agar tidak mengalami hal sama.
Sidang berikutnya dijadwalkan pada Selasa, 14 Oktober 2025, dengan agenda pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). (**)