Pelajar Tersangka Penjarahan DPRD Blitar Ajukan Restorative Justice, Demi Tetap Bisa Sekolah

KABUPATEN BLITAR (Beritakeadilan.com, Jawa Timur) – Dua pelajar di bawah umur yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pengrusakan dan penjarahan saat aksi massa di Kantor DPRD Kabupaten Blitar mengajukan permohonan tahanan kota. Langkah ini ditempuh agar keduanya tetap bisa melanjutkan pendidikan meski sedang menjalani proses hukum.
Kedua anak berhadapan dengan hukum (ABH) tersebut berinisial SBW (15), siswa SMPN 2 Doko, dan RDA (16), siswa SMK PGRI Wlingi Blitar. Saat ini keduanya ditahan di Lapas Anak Blitar sejak Selasa (2/9/2025).
“Sebagai kuasa hukum, kami telah mengajukan permohonan pengalihan jenis tahanan kepada Polres Blitar. Pertimbangannya, proses peradilan anak mengutamakan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Proses hukum tidak boleh menghalangi hak anak untuk mendapatkan pendidikan,” jelas Bagus Catur Setiawan, tim kuasa hukum dari Kantor Hukum & Penegak Hukum Dwi Heri Mustika & Sekutu, Jumat (5/9/2025).
Dok Foto,Salah Satu Orang Tua Siswa Bersama Team DHM Dipolres Blitar.
Faktor Pertimbangan Kuasa Hukum
Dalam surat permohonan yang ditujukan kepada Kapolres Blitar, kuasa hukum menyampaikan sejumlah alasan:
- SPPA menekankan restorative justice, yaitu penyelesaian perkara anak yang lebih mengutamakan pembinaan daripada pemenjaraan.
- Keduanya masih aktif sebagai pelajar kelas IX dan kelas X.
- Peran keduanya dalam kericuhan dinilai tidak signifikan, hanya ikut-ikutan dari ajakan rekannya.
- Tidak ada indikasi upaya melarikan diri atau menghambat penyidikan.
“Orang tua bersedia menjadi penjamin, bahkan didukung kepala desa dan pihak sekolah agar mereka bisa kembali bersekolah,” tambah Catur.
Pertimbangan Khusus untuk Septa Bagus Wijanto
Selain faktor pendidikan, kuasa hukum juga menyoroti kondisi sosial-ekonomi SBW (15) yang dinilai layak menjadi pertimbangan, yakni: setiap pagi sebelum berangkat sekolah, SBW selalu membantu mengantar ayahnya, P. Kasianto, bekerja sebagai pasukan kuning dengan sepeda motor.
Setelah itu, barulah SBW berangkat ke sekolah. SBW merupakan anak tunggal, sementara ibunya dalam kondisi sering sakit-sakitan. Sepulang sekolah, SBW kembali menjemput ayahnya di pasar karena ayahnya tidak bisa mengendarai sepeda motor. “Rutinitas dan tanggung jawab ini menunjukkan bahwa SBW memiliki peran penting dalam keluarganya, sehingga penahanan justru akan memperburuk kondisi sosial dan ekonomi keluarga,” tegas kuasa hukum.
Barang Bukti Hanya Bahan Konsumsi
Menurut kuasa hukum, barang bukti yang disita dari kedua pelajar hanyalah 2 kilogram gula putih merk Rose Brand dan 7 bungkus kopi Kapal Api. “Polisi memang berhak melakukan penahanan, tetapi tidak harus dilakukan. Dalam Pasal 32 UU SPPA, penahanan terhadap anak hanya boleh dilakukan sebagai upaya terakhir,” katanya.
Kronologi Penetapan Tersangka
Sebelumnya, Polres Blitar menetapkan 12 orang tersangka dari aksi anarkis yang terjadi pada Sabtu (30/8/2025). Dari jumlah itu, 11 orang masih di bawah umur dan 1 orang dewasa. Sebanyak 9 anak ditahan, sementara 3 anak lainnya tidak ditahan karena masih berusia 13 tahun. Sedangkan 29 orang lain yang sempat diamankan, dipulangkan karena tidak cukup bukti.
Harapan Perhatian dari KPAI
Kuasa hukum berharap kasus ini mendapat perhatian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). “Anak-anak ini sebenarnya juga korban bujukan dan hasutan oknum yang memanfaatkan kondisi mereka,” ujarnya.
(R_win)