Kota-Kota Harus Berbenah: Banjir Sumatera Jadi Peringatan Keras Kegagalan Tata Ruang dan Adaptasi Iklim
SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur) – Bencana banjir yang menerjang Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat kembali membuktikan bahwa Indonesia tengah berada di garis depan krisis iklim. Peristiwa ini tidak lagi dapat dipandang sebagai musibah alam semata, melainkan ujian besar terhadap kualitas perencanaan kota, tata ruang, serta kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Dekan Fakultas Teknik Untag Surabaya, Dr., Ir., Ar., R.A., Retno Hastijanti, MT., IPU., IAI., APEC Eng., menyampaikan duka cita mendalam atas tragedi yang terjadi, seraya berharap seluruh penyintas segera memperoleh pertolongan dan pemulihan, serta keluarga korban diberi ketabahan.
Fenomena cuaca ekstrem semakin tidak dapat diabaikan. Data awal mengindikasikan bahwa intensitas hujan yang luar biasa, disertai perubahan pola angin, menjadi pemicu rusaknya hidrologi dan memicu banjir serta longsor di wilayah Sumatera.
Perubahan iklim kini bergerak lebih cepat daripada perkiraan perencanaan jangka panjang. Dokumen master plan kota tak lagi bisa bersifat statis; ia harus menjadi dokumen dinamis yang diperbarui secara berkala berdasarkan data iklim terbaru.
Kota-kota di Sumatera tumbuh secara alami di sekitar sungai sebuah pola klasik yang juga terjadi di banyak kota di Asia. Namun pertumbuhan historis ini membawa persoalan baru. Daerah bantaran sungai menghadapi tekanan pembangunan intensif, sementara pengawasan tata ruang tak berjalan optimal.
Rumah informal semakin menyempitkan ruang aliran sungai. Daerah resapan air ditutup oleh bangunan. Aliran dari hulu tetap besar, namun daya tampung hilir terus menurun. Ketika dikombinasikan dengan cuaca ekstrem, kondisi ini berubah menjadi potensi bencana yang tak terhindarkan.
Tragedi di Sumatera harus menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah. Pembangunan kota ke depan harus berbasis data, adaptif, dan mengutamakan keselamatan warga.
Langkah penting dimulai dari pemetaan menyeluruh terhadap zona aman, kawasan rawan banjir, potensi longsor, hingga titik panas wilayah perkotaan. Pembaruan peta lidar dan sonar menjadi krusial untuk membaca perubahan topografi, kondisi tanah, hingga potensi pergeseran lahan.
Seluruh data geologi, hidrologi, dan iklim harus diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang. Hanya dengan itu pemerintah dapat menentukan mana lahan yang layak dibangun dan mana yang harus dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau. Keseimbangan ruang terbangun dan ruang ekologis adalah kunci agar warga tidak terus-menerus hidup dalam ancaman bencana berulang.
Kebijakan dan infrastruktur terbaik sekalipun tak akan efektif tanpa keterlibatan masyarakat. Kota adalah ruang hidup manusia, dan karakternya dibentuk oleh perilaku warganya.
Kesadaran dalam membuang sampah dengan benar, memanen air hujan, mengelola limbah, serta menjaga daerah sempadan sungai menjadi bagian penting dalam menjaga fungsi ekologis kota. Sinergi antara kebijakan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat menjadi pondasi ketahanan kota terhadap bencana.
Dalam kondisi darurat iklim, semua pihak harus berhenti bekerja sendiri sendiri. Pendekatan pentahelix kolaborasi pemerintah, akademisi, masyarakat, sektor bisnis/praktisi, dan media harus menjadi paradigma utama dalam pengurangan risiko bencana dan perencanaan kota masa depan.
Bencana yang melanda Sumatera memang meninggalkan luka mendalam, namun juga menjadi pengingat tegas bahwa kota-kota Indonesia tidak lagi bisa menunda penataan berbasis perubahan iklim. Jika ingin tetap layak huni, langkah adaptif harus dimulai sekarang.(**)