Iming-iming kerja di Eropa, WNA Nepal justru ditampung ilegal di Surabaya
Sidang Penyelundupan 17 WNA Nepal di Surabaya, Jaksa Tuntut 8 Tahun Penjara
SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Sidang perkara pidana terkait pelanggaran keimigrasian yang melibatkan 17 warga negara asing (WNA) asal Nepal kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (15/10/2025). Sidang yang berlangsung di ruang Sari 3 secara offline itu menghadirkan tiga terdakwa utama, yakni Bakhat Bahadur B.K, Satyam Kumar (warga Nepal), dan Lia Taniati (warga Indonesia).
Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Galih Riana Putra Intaran dari Kejaksaan Negeri Surabaya menyatakan para terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana penyelundupan manusia. Para terdakwa dinilai mencari keuntungan pribadi dengan membawa dan menampung kelompok warga negara asing tanpa dokumen sah, baik saat masuk maupun keluar wilayah Indonesia.
“Menjatuhkan hukuman terhadap para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing delapan tahun dan denda Rp500 juta, subsider tiga bulan kurungan, dikurangi masa tahanan yang telah dijalani,” ujar JPU Galih di hadapan majelis hakim.
Para terdakwa dinyatakan melanggar Pasal 120 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sidang akan dilanjutkan pada Rabu (22/10/2025) mendatang dengan agenda pembelaan (pledoi) dari penasihat hukum.
Berdasarkan fakta persidangan, ketiga terdakwa merekrut 17 WNA asal Nepal dengan janji akan diberangkatkan bekerja ke tiga negara kawasan Eropa, yakni Ceko, Lithuania, dan Hungaria. Mereka dijanjikan gaji antara 1.000 hingga 1.500 euro per bulan. Namun kenyataannya, para korban hanya memiliki visa wisata, bahkan sebagian tidak mempunyai paspor.
Para WNA tersebut ditampung di dua lokasi di Surabaya, yakni di Jalan Kendangsari I Blok G/33 dan rumah kos di Jalan Siwalankerto VIII Blok E12. Setiap korban diminta membayar antara 1.500 hingga 2.500 dolar Amerika Serikat kepada komplotan penyelundupan tersebut.
Kasus ini terungkap pada Desember 2024 setelah petugas Imigrasi Kelas I Khusus TPI Surabaya mendapat informasi adanya pelanggaran keimigrasian di wilayah Kendangsari. Saat dilakukan penggerebekan, enam WNA Nepal ditemukan di rumah tersebut tanpa dokumen lengkap, sementara lainnya tersebar di Bali dan Jakarta.
Hasil penyelidikan mengungkap bahwa jaringan ini dikendalikan oleh Bakhat Bahadur B.K dan rekan-rekannya. Mereka bekerja sama dengan warga Nepal bernama Lekhnath Prasai yang memiliki perusahaan bernama Prasain Brothers & Son di Nepal. Melalui perusahaan ini, para korban direkrut dan dijanjikan pekerjaan di Eropa melalui jalur Indonesia.
Selanjutnya, proses pengurusan visa dilakukan oleh Lia Taniati dan Satyam Kumar menggunakan dua perusahaan sponsor di Indonesia, yaitu PT Cipta Intertrans dan PT Harsa Aksa Amerta. Namun kedua perusahaan tersebut tidak memiliki kegiatan usaha nyata dan hanya dijadikan kedok untuk mengeluarkan dokumen izin tinggal terbatas (ITAS).
Selain ketiga terdakwa utama, penyidik juga menelusuri keterlibatan beberapa orang lain yang membantu menerima uang pengurusan visa, di antaranya Amrizal Bintar Rachmadany, Kamal Fauzan Navaro, dan Daffa Rangga Ananda.
Dari pemeriksaan, seluruh 17 WNA Nepal hanya menyerahkan paspor dan hasil pemeriksaan kesehatan kepada para terdakwa. Mereka tidak memiliki kontrak kerja resmi atau dokumen penempatan yang sah.
“Para korban hanya dijanjikan bisa bekerja di Eropa dengan gaji tinggi, tetapi tidak pernah ada perjanjian tertulis ataupun visa kerja,” ungkap saksi dari pihak Imigrasi, M. Ridho Bahar Harahap, di persidangan.
Para terdakwa didampingi penasihat hukum Sugianto dan Rekan, serta penterjemah Abas Saher dari Kemenkumham. Ketiganya tetap ditahan hingga sidang pembelaan pekan depan. Pengadilan Negeri Surabaya menegaskan bahwa kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak mudah tergiur tawaran kerja luar negeri tanpa prosedur resmi. (***)