Wacana Pilkada Lewat DPRD Kembali Mengemuka, LaNyalla Sebut Demokrasi Tak Harus Selalu Langsung
JAKARTA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur) – Diskursus tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali menjadi perbincangan hangat. Kali ini, wacana pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota melalui DPRD provinsi maupun kabupaten/kota kembali mencuat ke permukaan. Pro-kontra pun tak terelakkan.
Sebagian kalangan menilai Pilkada langsung menjadi simbol kedaulatan rakyat. Namun, sebagian lainnya mempertanyakan efektivitas dan biaya besar yang ditimbulkan, sehingga mengusulkan agar pemilihan dilakukan lewat DPRD.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan bahwa demokrasi tidak selalu harus dimaknai melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.
“Laiknya sistem demokrasi di banyak negara, praktik demokrasi bisa dijalankan dalam beragam model. Ada yang menggunakan sistem pemilu langsung, ada pula yang melalui perwakilan di parlemen,” ujar LaNyalla.
Menurut mantan Ketua Umum PSSI itu, penting untuk meninjau kembali pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Ia menilai, pemilihan secara langsung memang memberi ruang partisipasi rakyat yang luas, tetapi tidak serta merta menjadi satu-satunya pilihan paling demokratis.
“Kita perlu uji batu terhadap semua model. Harus jujur, apakah pemilihan langsung selama ini benar-benar menghasilkan pemimpin terbaik, atau justru sebaliknya: menciptakan pasar politik transaksional yang mahal dan penuh intrik?” lanjutnya.
LaNyalla juga menyoroti tingginya biaya politik dalam Pilkada langsung. Dalam banyak kasus, hal itu justru memicu lahirnya praktik politik uang, kolusi, hingga korupsi kebijakan setelah terpilih.
“Banyak kepala daerah akhirnya terjebak pada kepentingan pemodal atau sponsor politik. Akibatnya, kebijakan yang diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tapi pesanan,” tegasnya.
Ia menyebut, jika rakyat masih tetap menginginkan keterlibatan langsung, maka sistem itu perlu diperbaiki. Namun jika melalui DPRD dianggap lebih efisien dan tetap bisa menjaga integritas demokrasi, maka itu pun perlu dibuka ruang diskusinya secara rasional.
Dalam konteks perwakilan di DPRD, LaNyalla menekankan pentingnya pembenahan partai politik sebagai pilar utama demokrasi perwakilan.
“Kita butuh partai politik yang sehat, transparan, dan memiliki mekanisme kaderisasi yang kuat. Jangan sampai DPRD yang menjadi perpanjangan tangan partai justru jadi ladang kompromi transaksional,” katanya.
Menurut LaNyalla, sistem demokrasi yang baik hanya bisa berjalan apabila seluruh unsur pendukungnya juga sehat—baik penyelenggara, partai, hingga masyarakatnya.
Mengakhiri pandangannya, LaNyalla mengingatkan agar arah demokrasi Indonesia tidak tersandera oleh ego sektoral atau romantisme politik semata. Ia mendorong agar revisi sistem dilakukan secara menyeluruh dan berbasis pada nilai konstitusi serta kebutuhan bangsa.
“Kita perlu kembali ke khitah demokrasi yang substansial, bukan sekadar prosedural. Intinya adalah kedaulatan rakyat benar-benar terwujud dalam kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat, bukan pada elit atau oligarki,” pungkasnya.(R1F)