Bule Asal Belanda Korban Pemerasan Pengusaha Malang dan Oknum Notaris Denpasar Dijadikan Terdakwa di PN Denpasar
KOTA DENPASAR (Beritakeadilan, Bali)-Nasib apes melanda Dirk Hermanus Egbertus Kastermans, 53. Menjadi korban penipuan dan pemerasan oknum pengusaha dan notaris di Bali, warga negara asing (WNA) ini, kini malah jadi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Kini, bule asal Belanda ini menjadi terdakwa kasus penipuan penyewaan vila di wilayah Sanur, Denpasar.
Padahal, Dirk Hermanus dalam kasus serupa yang dilaporkan pelapor Eddy Lamdjani, 56, menjadi korban pemerasan sebesar Rp 1.7 miliar. "Iya betul. Polsek Sanur sebut kerugian korban kurang lebih Rp 500 juta terkait penipuan. Saya dan suami sebenarnya mau ganti rugi Rp 600 juta, malah pihak sana minta Rp 1,7 miliar.
“Apakah itu bukan pemerasan namanya ?" ujar istri Dirk Hermanus, Ni Wayan Ari, dalam agenda pemeriksaan saksi di PN Denpasar, kemarin. Ni Wayan Ari mengatakan, suaminya menjadi korban kesewenang-wenangan seorang pengusaha dan oknum notaris. Dalam kasus ini, Dirk Hermanus dijerat pasal penipuan penyewaan vila.
"Ini rumah tinggal kami. Tidak kami sewakan kepada siapapun," kata Ni Wayan Ari. Menurutnya, kasus ini bermula ketika HS memperkenalkan Dirk Hermanus dengan seorang pengusaha dari Malang, inisial EL. Diketahui, HS adalah seorang pengusaha. Dia berteman dengan Dirk, setelah dikenalkan oleh seorang debt collector bernama I Made Putra Iryawan alias Wawan, sejak Oktober 2020.
Ceritanya, Wawan dipercayai suaminya untuk menangani masalah melibatkan kontraktor yang diduga telah menipu orang-orang, yakni pembeli potensial, dalam proyek perumahan BTN di BTB. Karena kekurangan dana dalam proyek itu, EL bersedia memberikan pinjaman sebesar Rp 350 juta. Setelah menyetujui jumlah pinjaman yang dia minta, EL bersama HS mengajak pasutri ini membuat perjanjian di Kantor Notaris EB di Mahendradatta, Denpasar, 03 November 2020. Namun, belakangan diketahui terdapat kejanggalan.
Saat itu HS meminta Ni Wayan Ari untuk tetap di luar, berdalih kursi di ruangan kantor notaris ini tak memadai.
Dalam ruangan, oknum notaris menunjuk beberapa dokumen dan menyebutkan bahwa ini adalah perjanjian pinjaman. Dalam perjanjian tersebut, Dirk Hermanus akan diberikan pinjaman secara tunai Rp 350 juta dan harus dilunasi setelah enam bulan dengan jumlah yang telah ditentukan sebesar Rp 455 juta. Kejanggalan berikutnya, dokumen itu dibuat dalam Bahasa Indonesia, di mana Dirk Hermanus tidak terlalu paham. "Suami saya banyak menandatangani dokumen. Seusai menerima uang, kami berdua meninggalkan kantor notaris tanpa diberi satu berkas atau salinan, juga copian," ujar Ni Wayan Ari. Sesampainya di kediaman di Jalan Sekuta 16A, Denpasar Selatan, keduanya menghitung uang dan jumlahnya hanya Rp 315 juta. Setelah cek ulang ternyata HS mengambil komisi sepuluh persen, berdalih telah ada kesepakatan bersama.
Beberapa hari kemudian, pada tanggal 8 November, keduanya berangkat ke Lombok dan HS ikut bergabung, 9 November.
HS sempat memperkenalkan pasutri ini kepada orang-orang berbeda untuk membantu menyelesaikan masalah proyek BTN di sana. Singkat kata pada Mei 2021, HS meminta pengembalian uang milik EL disertai dengan sejumlah ancaman dan tekanan. Salah satunya membuat laporan ke polisi. Ancaman tersebut terbukti. Berdasarkan laporan EL, pihak Polsek Denpasar Selatan memberikan panggilan kepada Dirk Hermanus dan Ni Wayan Ari pada Desember 2021. Keduanya makin terkejut setelah fakta-fakta baru yang terungkap di kepolisian berbeda dengan aslinya. Di kantor polisi, ternyata perjanjian tersebut menyebutkan bahwa Dirk Hermanus setuju untuk menyewakan Vila Kastermans, milik keduanya. “Ini kediaman kami. Tidak pernah menyewakan kepada EL. Enggak masuk logika, masa vila sebesar dan seluas itu dihargai Rp 455 juta.
"Kami berdua ditipu, kami tidak pernah menerima draf perjanjian," kilahnya. Penyidik Polsek Denpasar Selatan sebenarnya menawarkan mediasi pada Januari 2022. Pihaknya sudah menawarkan pelunasan sebanyak Rp 500 juta, tetapi ditolak lantaran EL menuntut Rp 1.05 miliar. Mirisnya, dalam kondisi seusai berobat di Singapura lantaran mengalami cedera otak, Dirk Hermanus justru ditahan polisi pada Februari 2023. Selama penahanan, polisi mengadakan mediasi lagi. Namun, dalam mediasi itu, EL menuntut Rp 1,65 miliar. Mediasi berikutnya terjadi lagi pada Maret 2023, di mana pihak EL menuntut Rp 1.7 miliar. “Ini kan pemerasan namanya. Saya dan suami menyanggupi Rp 600 juta, tetapi ditolak EL.
Suami saya malah diminta datang ke jaksa untuk menerima berkas polisi yang diminta oleh pengacara saya pada 8 Mei 2023," tambahnya. Dalam fakta persidangan beberapa kali, kata Ari, sang suami Dirk Hermanus selalu didampingi dua kuasa hukumnya, I Made Sumantara dan Betty Prissila Djunaedi. Berdasarkan data yang ditemukan, Dirk Hermanus menandatangani dokumen di kantor notaris dengan isi yang sama sekali berbeda dari yang disepakati. “Sebuah vila dengan harga lebih dari Rp 10 miliar itu sesuai dengan dokumen yang ditandatangani di depan oknum notaris, dijual seharga Rp 455 juta. Tidak masuk logika sama sekali karena nilai vila itu 2.000 persen lebih dari harga yang disebutkan,” bebernya.
Menurutnya, tidak pernah ada draft perjanjian yang dikirimkan kepada dirinya oleh oknum notaris berinisial EB. Perjanjian hanya dibuat dalam Bahasa Indonesia dan tidak dalam versi dwibahasa yang diwajibkan oleh undang-undang. Semua dokumen sama sekali tidak ada penjelasan tentang yang ditandatangani.
Lalu uang tunai tidak diperiksa atau dihitung oleh oknum notaris, tetapi malah menyuruh terdakwa menandatangani kuitansi. “Tidak ada salinan perjanjian yang diberikan kepada kami. Baik melalui email atau layanan pos. Tidak memeriksa atau memberitahu pemilik tanah yang merupakan SOP,” ungkapnya. "Menurut suami saya, Indonesia adalah negara terindah di dunia. Sayangnya masih ada pengusaha dan oknum notaris yang memberi reputasi buruk bagi Indonesia di mata dunia," paparnya. (red/JPNN)