Dapat Penolakan Warga, Ditjen Perla Tetap Lakukan Penertiban Lahan di Jl Gunung Sahari Jakarta
BEDIL (Jakarta) - Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan melaksanakan putusan terkait penertiban rumah Negara di Jl. Gunung Sahari No 72 dan 73 Kemayoran Jakarta Pusat, kedatangan pihak Ditjen Perla sekitar pukul 08.00 WIB sempat mendapatkan penolakan dari warga, walau demikian pelaksanaan penertiban tersebut tetap dilakukan.
Davin Prasmasdita, SH. MH sebagai Kuasa Hukum Ditjen Perla menyampaikan bahwa penertiban yang dilakukan hari ini merupakan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang terbukti sebagai milik Negara.
"Kami dari tim Legal memberitahukan
Direktorat Perhubungan Laut akan melaksanakan putusan terkait penertiban rumah Negara di Jl. Gunung Sahari No 72 dan 73 yang telah memiliki kekuatan hukum tetap berdasarkan putusan Pengadilan dan terbukti sebagai milik Negara. Sebelum melakulan penertiban beberapa langkah termasuk mediasi dalam meninindak lanjuti hasil putusan pengadilan."Jelas Davin dilokasi, Rabu (18/06).
Sebelum melekukan penertiban Davin mengatakan telah menempuh upaya-upaya mediasi audensi dan lainnya.
"Dirjen telah mengirim surat pengosongan, telah dilakukan audensi, dilakukannya pemasangan plang pada tanggal 10 Juni 2021, ditemukan tim Lawyer adanya dugaan rumah dinas tersebut dikomersilkan. Tim Lawyer sudah memnyampaikan surat somasi pertama, kemudiam surat somasi kedua, dan juga yang ketiga, bahkan kami juga telah memberikan toleransi waktu saat hari Raya selama satu bulan."katanya.
"Kemudian hari ini 18 Mei 2022 kami laksanakan penertiban, dalam hal ini kami sampaikan status alas hak dari tanah yanag ada di 72-73 ini sudah Inkrah dan sudah tidak ada lagi upaya luar biasa lagi."Lanjut Davin.
Davin berkesimpulan setelah melakukan upaya persuasif baik secara lisan atau bersurat pihaknya berusaha agar rumah atau lahan tersebut dapat dimiliki Kementerian Perhubungan.
"Kita sudah melakukan upaya persuasif kemaren dengan melakukan peringatan baik secara surat dan lisan maka dalam hal ini titik poinnya adalah bagaimana rumah atau alas hak ini dapat di miliki oleh Kementerian Perhubungan."tandasnya.
Ditempat yang sama Ganjar salah satu warga yang menjadi korban penertiban menyatakan keberatan atas proses tersebut, dirinya menilai penertiban tersebut harus ada perintah dari Pengadilan.
"Mereka mau mengeksekusi paksa tadi sudah suruh orang - orang pengacaranya, suruh masuk, saya tahan kok, saya ngga bisa, kalau memang eksekusi harus ada surat perintah pengadilan dulu."Ungkapnya.
Diketahui pada hari ini menurut Ganjar ada jadwal sidang pada pukul 09.00 WIB di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan agenda mediasi.
"Karena kita kan mau Sidang mediasi, hari ini ada warga kita yang jalan jam 9 tadi ke Pengadilan Negeri, bahkan ketemu Hakim, yang menyatakan sebelum ada selesai pembayaran, warga haru tetap, netap dulu jangan tinggal."ujarnya.
"Bicara kerohiman pergantian ganti rugi itu saya mengikuti Pengadilan secara perdata, biar Pengadilan yang memutuskan, bukan dari permintaan kita, ketika keluar kerohiman dan kita sepakati ya selesai, kami berharap NJOP 30 juta permeter, tapi mereka punya hak tawar, 30 juta keberatan berapa, ya kan ada dialog, bukan gaya-gaya seperti ini, main eksekusi bawa orang-orang yang serem tadi, preman, saya ngga seperti itu, karena kita bukan warga seperti apa ya, cukup ikut proses pengadilan, ada putusan, suruh mengosongkan saya jalani, ngga perlu ada kekerasan begini."kata Ganjar.
Dirinya dan keluarga yang sudah menempati rumah tersebut sekitar 50 sampai 70 tahun lamanya, menyadari ada surat izin penempatan itu jika sudah pensiun atau meninggal, maka rumah tersebut diserahkan kembali, namun yang menjadi persolan menurut Ganjar ada memori interen Kementerian Perhubungan pada tahun 1983, hal tersebutlah yang menjadi dasar panolakan dirinya dan warga.
"Saya sudah 50 tahun (tinggal) kalau kakak-kakak saya sudah 70 tahunanlah, Memang setelah almarhun bapak meninggal saya baru tahu bahwa surat ijin penempatan itu, ada menyebutkan setelah meninggal atau pensiun selama 6 bulan itu harus di serahkan, tapi di balik itu juga pada tahun 83 memori putusan interen perhubungan laut yang menyatakan satu, pada saat itu Perhub (Kementerian Perhubungan, red) tidak bisa membuktikan bahwa tanah itu milik Perhub, yang kedua bila mau mengosongkan atau menempati lahan ini warga yang menempati rumah ini dikasih 30 juta per rumah pada tahun 83, ketiga ketika perhub tidak bisa mengganti, Perhub segera memproses kepemilikannya, ketika Perhub tidak punya biaya untuk memproses kasih yang menempati, itu ada kata-kata itu, yang menempati untuk memproses kepemilikan, itu yang jadi patokan kami."ungkapnya.(Drs/Frs)