Polres Lamongan Menunggu Dumas, DPPPA Kabupaten Lamongan: Berupaya Menggali Informasi Keluarga Korban

KABUPATEN LAMONGAN (Beritakeadilan, Jawa Timur)-Akun TikTok @SITI MENCARI KEADILAN dan akun Facebook (FB) Maria Citi Komaria menggegerkan warganet, khususnya warganet asal Kota Soto ini. Konon, perkara ini pernah dilaporkan ke Polres Lamongan pada Senin, Senin 3 Juli 2023. “Terkait kasus tersebut, sekitar seminggu yang lalu si korban bersama suaminya datang ke kantor, mereka kami terima dengan baik kemudian kami dampingi ke Unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Polres Lamongan,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Lamongan, Juwari kepada www.beritakeadilan.com, Selasa (12/07/2023).
“Saat itu, benar kami mendampingi korban ke Polres Lamongan. Saat itu penyidik menanyakan unsur pidananya dimana. Soalnya orang dewasa yang kejadiannya berkali-kali. Pihak Polres kesulitan mencari unsur pidananya dimana, kalau memang itu pemerkosaan itu juga susah ditemukan buktinya. Karena kejadian terakhir 2021,” aku pendamping korban.
“Pihak kepolisian belum bisa memproses laporan tersebut karena susah untuk dibuktikan. Kemudian dari pihak pelapor merasa kecewa, kenapa kok tidak bisa diproses laporannya. Sebenarnya bukan tidak bisa, tapi pihak kepolisian susah untuk membuktikannya dan mencari buktinya. Lalu pihak pelapor meninggalkan tempat (Polres Lamongan, red). Setelah itu pihak Polres mencoba untuk memanggil korban lagi untuk melaporkan aduan masyarakat, jadi sembari mengumpulkan bukti dan memanggil para terlapornya. Tetapi dari pihak pelapor tidak mau kembali lagi membuat aduan masyarakat,” terang pendamping korban.
“Kami dari pihak Dinas masih mengupayakan menggali informasi dari keterangan keluarga korban. Tapi sampai saat ini masih belum kami jadwalkan. Langkah selanjutnya, kami menggali informasi dari keluarga korban di Desa Pelang. Lalu, kami juga berencana pendampingan psikologis, karena korban tidak tinggal di lamongan jadi sulit untuk bertemu secara langsung,” ungkap pendamping korban saat diwawancara www.beritakeadilan.com.
Sementara Kasi Humas Polres Lamongan, Ipda Anton Krisbiantoro mengaku belum mengetahui kabar viralnya dugaan pemerkosaan yang dialami warga Desa Pelang sejak masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD). “Mohon ijin dan mohon maaf kami belum dapat laporan dari Kanit PPA,” kata Ipda Anton Krisbiantoro kepada www.beritakeadilan.com, Selasa (11/07/2023).
Sementara itu, suami korban berinisial Awr menghubungi www.beritakeadilan.com. “Memang benar, kami saat itu datang didamping pihak DPPPA Kabupaten Lamongan. Setelah kami datang dan berkonsultasi di kantor DPPPA Kabupaten Lamongan, Jl. Veteran No.37, Mendalan, Banjarmendalan, Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan, berlanjut ke Polres Lamongan. Sesampai disana, kami ditemui petugas Polres Lamongan. Saya sedih dan kecewa, karena laporan kami saat itu tidak bisa diproses atau tidak bisa dibuatkan laporan polisi. Saya menunjukan beberapa chatting, hasil rekaman dari pengakuan para pelaku. Namun saat itu, petugas terkesan mengabaikan chatting dan hasil rekaman atas pengakuan para pelaku,” jelas AWR via telepon Whatsapp (WA), Selasa (11/07/2023).
AWR berharap, masih ada keadilan bagi istrinya. “Saya berharap perkara istri saya ini bisa diproses Polres Lamongan. Kasihan istri saya. Sampai saat ini masih trauma atas kejadian yang menimpanya sejak kecil karena diperlakukan tidak manusiawi,” tutup AWR.
Sementara Praktisi Hukum Dwi Heri Mustika,S.H.,SKW.Mud menjelaskan, penyampaikan petugas Polres Lamongan mungkin kurang dimengerti oleh pihak korban. “Sebenarnya semua perkara dugaan pidana yang dilaporkan masyarakat wajib dilayani polisi, namun sebelum dibuatkan Laporan Polisi atau LP, biasanya ada petugas piket reserse untuk terlebih dahulu melayani konsultasi hukum, sebelum berlanjut ke proses pembuatan Laporan Polisi. Mungkin miskomunikasinya disini,” ucap Dwi, panggilan akrab Advokat asal Kota Surabaya ini kepada www.beritakeadilan.com.
Menurut Dwi, ada ketentuan Pasal 78 ayat (1) butir 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), berbunyi: Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa.
“Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah 1 (satu) tahun. Lalu, mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, sesudah 6 (enam) tahun. Selanjutnya, mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun, sesudah 12 (dua belas) tahun. Terakhir, mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 (delapan belas) tahun,” jelas Dwi yang dikenal sebagai Ketua Komisi Media dan Publikasi Badan Pengurus Wilayah (BPW) Persatuan Advokad Indonesia (Peradin) Jawa Timur (Jatim).
Oleh karena itu, lanjut Dwi, atas tindakan pemerkosaan anak yang diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, daluwarsa penuntutan pidananya adalah sesudah 12 (dua belas) tahun.
“Dengan demikian, atas perhitungan masa daluwarsa atas kejadian korban pada waktu diperkosa, itu yang harus dianilisa terlebih dahulu. Jika kita ambil contoh umum bahwa kelas 5 SD, berarti menginjak usia 11 (sebelas) tahun, dengan asumsi bahwa kelas 1 SD korban berusia 7 (tujuh). Saat korban berusia 11 (sebelas) tahun, ditambahkan dengan masa daluwarsa 12 (dua belas) tahun, maka 11 tahun + 12 tahun = 23 tahun. Jadi, masa penuntutan hukum atas pelaku pemerkosaan tergolong anak (korban) tersebut berusia 23 tahun. Jika usia korban menginjak 24 (dua empat) tahun, maka upaya penuntutan pidananya menjadi hapus atau tidak dapat dilakukan penuntutan,” terang Dwi yang juga sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cakra Tirta Mustika (Cakram).
Masih Dwi, jika mengacu kejadian pemerkosaan pada 2021. “Pertanyaannya ?, apakah korban saat 2021 berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun atau diatas 18 (delapan belas) tahun ?. Jika dibawah 18 tahun berarti tergolong anak dan bisa diberlakukan Pasal 76D Undang Undang (UU) No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Hukuman dari perbuatan pasal tersebut diatur dalam Pasal 81 Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Tetapi jika pada tahun 2021 lebih dari usia 18 tahun, maka sudah dinyatakan dewasa dan tidak bisa diberlakukan UU No. 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016,”tutup Dwi. (red/edi)