Faisal Rachman ungkap strategi komunikasi krisis hadapi hoaks perusahaan
Jurus Menyelamatkan Reputasi Bisnis di Tengah Gempuran Hoaks Digital
JAKARTA PUSAT (Beritakeadilan.com, DKI Jakarta) – Di tengah derasnya arus informasi digital, hoaks kini bukan lagi sekadar gangguan komunikasi, melainkan ancaman nyata yang dapat mengguncang reputasi perusahaan dan menggerus kepercayaan publik. Kasus demi kasus menunjukkan, hanya perusahaan dengan kesiapan komunikasi krisis yang matang yang mampu bertahan tanpa kehilangan kredibilitas.
Pemimpin Redaksi Periskop.id, Faisal Rachman, menegaskan bahwa dunia bisnis di Indonesia harus semakin waspada terhadap gelombang hoaks yang menyebar cepat di media sosial.

“Informasi hari ini menyebar jauh lebih cepat daripada kemampuan publik untuk memverifikasinya. Ketika hoaks muncul, reaksi yang lambat atau panik justru dapat memperbesar kerusakan citra,” ujar Faisal dalam keterangannya kepada media, Sabtu (19/7/2025).
Menurut Faisal, komunikasi krisis adalah elemen penting yang menentukan apakah sebuah perusahaan mampu mengendalikan situasi atau justru tenggelam dalam badai informasi palsu. Ia mengutip pandangan pakar komunikasi krisis, W. Timothy Coombs, yang menekankan pentingnya strategi proaktif sebelum krisis benar-benar terjadi.
“Kesiapan protokol komunikasi, monitoring opini publik, dan pemanfaatan kanal resmi informasi merupakan bagian tak terpisahkan dari manajemen risiko modern,” kata Faisal.
Faisal mencontohkan sejumlah merek besar di Indonesia yang berhasil bangkit setelah diterpa isu hoaks, seperti Indomie dan Le Minerale.
Pada 2010 dan 2023, Indomie sempat diterpa isu kandungan bahan berbahaya di luar negeri. Namun, perusahaan bergerak cepat melakukan klarifikasi berbasis data laboratorium dan komunikasi terbuka ke publik.
“Indomie bertahan karena mereka cepat, transparan, dan berbicara dengan data — bukan emosi,” tegas Faisal. Sementara itu, pada Februari 2024, Le Minerale difitnah mengandung kadar bromat tinggi. Melalui klarifikasi resmi dan hasil uji laboratorium Kementerian Perindustrian, hoaks tersebut terbantahkan.
“Respons cepat dan berbasis bukti adalah vaksin terbaik melawan hoaks,” ujarnya. Kasus lain adalah hoaks JKW-Mahakam, yang mengaitkan kapal tunda dan tongkang dengan isu tambang nikel di Raja Ampat serta menuding pemiliknya adalah mantan presiden. Fakta sesungguhnya menunjukkan kapal itu milik perusahaan publik di Kalimantan.
“Pendekatan perusahaan yang tenang dan presisi sesuai dengan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari Coombs, yakni respons krisis harus disesuaikan dengan tingkat ancaman dan persepsi publik,” jelas Faisal. Klarifikasi resmi perusahaan dan penegasan langsung Presiden Joko Widodo akhirnya menutup isu tersebut. Kementerian Komunikasi dan Digital pun menetapkan isu itu sebagai hoaks.
Faisal menegaskan, dari berbagai kasus tersebut, ada tiga prinsip utama yang wajib dipegang perusahaan dalam menghadapi hoaks: ketenangan, transparansi, dan kecepatan. Prinsip ini sejalan dengan teori Image Restoration yang dikembangkan William L. Benoit, menekankan pentingnya strategi komunikasi yang tepat untuk memulihkan citra.
“Hoaks bukan sekadar tantangan komunikasi, tetapi ancaman sistemik yang bisa menekan nilai saham, mengganggu rantai pasok, hingga menurunkan daya saing perusahaan di pasar global,” papar Faisal.
Ia menutup dengan ajakan agar media, pemerintah, dan pelaku bisnis memperkuat ketahanan komunikasi nasional.
“Reputasi adalah aset tak ternilai — dan bisa runtuh hanya karena satu hoaks yang dibiarkan tanpa kendali. Karena itu, hoaks harus dihadapi secara terukur dengan metode komunikasi yang tepat,” tutupnya.
(M.NUR)