Jakarta Institut Ingatkan Potensi Pungutan Terselubung di Sekolah Lewat Komite dan Korlas

oleh : -
Jakarta Institut Ingatkan Potensi Pungutan Terselubung di Sekolah Lewat Komite dan Korlas

JAKARTA SELATAN (Beritakeadilan.com, DKI Jakarta) - Menjelang dan memasuki tahun ajaran baru 2025/2026, sejumlah orang tua siswa mengeluhkan munculnya berbagai bentuk pungutan di sekolah negeri, baik di tingkat SD, SMP, hingga SMA/SMK. Lembaga riset dan kebijakan publik Jakarta Institut menyoroti fenomena ini sebagai pungutan terselubung yang dilakukan melalui komite sekolah dan koordinator kelas (korlas).

Peneliti pendidikan Jakarta Institut, Agung Nugroho, menyebut pola pungutan kini tak lagi dilakukan secara langsung oleh sekolah, melainkan melalui struktur informal dan semi-formal di lingkungan orang tua siswa.

“Bentuknya memang sumbangan, tapi nilainya sudah ditentukan, tenggat waktunya ditetapkan, bahkan kadang diumumkan siapa yang sudah atau belum bayar. Ini yang menciptakan tekanan psikologis dan menjurus pada pemaksaan,” kata Agung saat kepada media di Jakarta, Sabtu (12/7/2025).

Agung menambahkan, pungutan seperti itu rentan terjadi di awal tahun ajaran, saat sekolah masih dalam proses penyesuaian kegiatan belajar dan pengelolaan kelas.

Jakarta Institut mencatat sejumlah kasus nyata di beberapa daerah yang menunjukkan maraknya praktik pungutan terselubung.

Di Bojonegoro, Jawa Timur, orang tua siswa SMP Negeri 1 Kasiman mengeluhkan pungutan sebesar Rp700.000 per siswa oleh komite sekolah. Dana disebut-sebut akan digunakan untuk pembangunan aula. Kasus ini dilaporkan ke LBH Kinasih dan dinilai berpotensi masuk ranah hukum karena tidak melalui persetujuan yang sah dan transparan.

Di Bandung, Jawa Barat, dugaan pungutan terjadi di SMKN 13, di mana orang tua siswa kelas 11 diminta menyetorkan Rp5,5 juta per siswa melalui komite sekolah. DPR RI Komisi X sudah menyoroti kasus ini, dan Dinas Pendidikan Jabar menyatakan tengah melakukan verifikasi.

Sementara di Banyuasin, Sumatera Selatan, komite SMAN 3 Pulau Rimau menyatakan akan tetap memungut dana dari wali murid untuk membangun pagar sekolah, meskipun ketua komite diketahui pernah tersandung kasus korupsi. Pernyataan terbuka ini menuai kecaman karena bertentangan dengan prinsip akuntabilitas dan integritas publik.

Di Gunungkidul, Yogyakarta, pungutan ratusan ribu rupiah dilaporkan terjadi di SMP Negeri 1 Paliyan. Meski disebut sebagai sumbangan, orang tua mengaku tidak dilibatkan dalam proses penetapan maupun pemantauan penggunaan dana.

Menurut Agung, praktik semacam itu bertentangan dengan sejumlah regulasi pendidikan yang berlaku.

Permendikbud No. 75 Tahun 2016 melarang komite sekolah melakukan pungutan kepada wali murid. Permendikbud No. 44 Tahun 2012 menyebut bahwa pungutan tidak boleh dijadikan syarat penerimaan, proses pembelajaran, maupun kelulusan. Panduan MPLS Ramah 2025 yang dikeluarkan Kemendikdasmen juga melarang sekolah melakukan pungutan selama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah.

“Yang paling terdampak tentu keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Mereka merasa malu kalau tidak bisa ikut iuran, dan anak-anak pun bisa jadi korban diskriminasi sosial,” ujarnya.

Jakarta Institut mendesak Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk memperkuat pengawasan terhadap pungutan di sekolah, terutama yang dilakukan lewat struktur informal seperti korlas atau komite.

Selain itu, Agung juga mendorong orang tua murid untuk berani bertanya dan meminta transparansi. Jika pungutan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, masyarakat dapat melaporkannya ke platform resmi seperti Lapor.go.id, Laporpungli.id, atau langsung ke Ombudsman RI.

“Sekolah harus dibiayai oleh negara, bukan oleh dompet wali murid. Partisipasi orang tua itu penting, tapi bukan dalam bentuk iuran yang memaksa,” tegas Agung. (**)

banner 400x130
banner 728x90