Hakim Mengeluh, Menagih Janji, Kesejahteraan dan Fasilitas Terabaikan

oleh : -
Hakim Mengeluh, Menagih Janji, Kesejahteraan dan Fasilitas Terabaikan
banner 970x250

KABUPATEN MANOKWARI (BeritaKeadilan.com, Papua Barat) - Para hakim ad hoc yang selama ini berjuang menegakkan keadilan kini semakin terhimpit oleh ketidakpastian kesejahteraan. Sejak diangkat berdasarkan mandat reformasi, mereka telah memberikan kontribusi besar dalam pemberantasan korupsi dan penyelesaian perkara-perkara strategis di Indonesia. Namun, di balik tugas berat yang mereka emban, kesejahteraan mereka justru terus terabaikan.

Tunjangan Tak Pernah Naik Sejak 2013, Hakim karier sudah disesuaikan. Sejak Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 ditetapkan, besaran tunjangan kehormatan bagi hakim ad hoc tetap stagnan. Sementara itu, hakim karier telah mengalami penyesuaian gaji dan tunjangan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2024. Ironisnya, hakim ad hoc hanya mendapatkan tunjangan kehormatan, tanpa adanya gaji tetap seperti hakim karier, tetapi tetap dikenakan pajak tanpa adanya skema yang lebih adil.

“Bayangkan, kami menjalankan tugas yang sama dengan hakim karier, menghadapi perkara yang sama kompleksnya, tetapi tidak mendapatkan penghasilan yang sebanding. Bahkan, gaji hakim karier disesuaikan sementara kami tetap menerima tunjangan yang sama sejak 2013,” keluh beberapa orang hakim ad hoc di Pengadilan Negeri Manokwari, Papua Barat yang enggan disebutkan namanya.

Para hakim ad hoc merasa tidak mendapatkan penghargaan yang layak atas pengorbanan dan dedikasi mereka dalam menjalankan tugasnya. Diberbagai Daerah, mereka harus menghadapi tekanan berat dalam menangani perkara-perkara besar, termasuk tindak pidana korupsi yang kerap melibatkan pihak-pihak berkepentingan. Namun, kesejahteraan mereka justru tertinggal dibandingkan rekan-rekan sejawat mereka di jalur hakim karier.

Ancaman Pemangkasan Anggaran Mahkamah Agung, Fasilitas Hakim Ad Hoc Terancam

ditengah ketimpangan yang sudah ada, pemangkasan anggaran Mahkamah Agung yang direncanakan semakin membuat para hakim ad hoc khawatir. Jika pemangkasan ini benar terjadi, maka dampaknya akan berimbas pada fasilitas penting yang selama ini diberikan, seperti tunjangan transportasi dan tunjangan sewa rumah dinas.

“Kami ini tidak mendapatkan penghasilan seperti halnya yang diterima oleh hakim karier. Tunjangan transportasi dan tunjangan sewa rumah sangat membantu kami dalam menjalankan tugas di berbagai daerah, khususnya di Tanah Papua ini. Jika tunjangan tersebut dikurangi atau bahkan dihapus, bagaimana kami bisa bertahan untuk menghidupi keluarga kami dan kami yang melaksanakan tugas di Papua ini? Apakah kami harus membayar biaya operasional sendiri untuk menegakkan keadilan?,” ujar seorang hakim ad hoc dengan nada prihatin.

Para hakim ad hoc sering kali ditempatkan di wilayah yang jauh dari tempat tinggal asal mereka, sehingga tunjangan transportasi dan sewa rumah menjadi elemen penting dalam menunjang tugas mereka. Jika pemangkasan anggaran ini benar terjadi, maka akan semakin memperburuk kondisi mereka dan bisa berdampak pada independensi dalam menjalankan tugas peradilan.

Status Hakim Ad Hoc: Tidak Jelas dan Tidak Diakui Seperti Hakim Karier.

Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh hakim ad hoc adalah status hukum mereka. Hingga kini, hakim ad hoc bukanlah pejabat negara, bukan ASN, dan bukan pegawai honorer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Posisi ini membuat mereka tidak memiliki kepastian dalam jaminan kesejahteraan, termasuk hak pensiun, tunjangan yang layak, serta perlindungan hukum yang memadai.

Sebagai hakim yang menangani perkara-perkara berat, termasuk tindak pidana korupsi, hakim ad hoc dihadapkan pada risiko tinggi dalam menjalankan tugasnya. Namun, dengan status yang tidak jelas ini, mereka justru tidak mendapatkan perlindungan hukum dan fasilitas yang setara dengan hakim karier. Padahal, dalam tugasnya, mereka memikul tanggung jawab yang sama.

“Ketika terjadi sesuatu pada kami dalam menjalankan tugas, tidak ada jaminan perlindungan seperti yang dimiliki hakim karier. Kami hanya dianggap sebagai pekerja kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja tanpa jaminan apa pun,” terang salah seorang hakim ad hoc dengan penuh kekecewaan.

"Menagih Janji Presiden Prabowo"

Saat kampanye, Presiden Prabowo Subianto berulang kali menekankan pentingnya kesejahteraan aparat penegak hukum, termasuk hakim. Dalam debat capres dan penyampaian visi-misi, Prabowo menyatakan bahwa peningkatan kesejahteraan hakim menjadi salah satu prioritasnya untuk menjaga integritas dan profesionalitas di lembaga peradilan. Ia bahkan pernah berujar bahwa "gaji dan tunjangan hakim harus diperbaiki agar mereka tidak bisa diintervensi, tidak bisa disogok, dan benar-benar berorientasi pada keadilan.

Kini, para hakim ad hoc yang bertugas di PN Manokwari ada 4. Adhoc Tipikor 2 Adhoc PHI 2. Di PT. Papua Barat ada 2 Tipikor Semua. Jadi di Papua Barat ada 6 hakim adhoc, menagih janji tersebut. Mereka berharap ada kebijakan konkret yang memperbaiki ketimpangan yang selama ini terjadi. Mereka menuntut kejelasan dari pemerintah mengenai status mereka, serta kebijakan yang lebih adil dalam penentuan tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.

“Apakah kami tidak dianggap sebagai bagian dari penegak hukum di Indonesia? Apakah keadilan hanya berlaku bagi hakim karier sementara kami dibiarkan dalam kondisi seperti ini?,” imbuhnya.

Harapan para hakim ad hoc sangat sederhana yaitu pengakuan yang nyata dalam bentuk kesejahteraan yang layak, agar mereka dapat terus menjalankan tugas menegakkan hukum dengan profesional dan tanpa beban ekonomi yang menggerogoti. Kini, mata mereka tertuju pada langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Apakah janji kesejahteraan hakim hanya sekadar retorika kampanye, atau benar-benar akan diwujudkan dalam kebijakan nyata ?.

(AbangGinting)

banner 400x130
banner 728x90