Viralnya Sejumlah Oknum Wartawan Pamerkan Uang Rp. 10 Ribu, Dwi Heri Mustika: Berpotensi Melanggar KEJ
KOTA SURABAYA (Beritakeadilan, Jawa Timur)-Sejumlah oknum wartawan memamerkan uang dari dalam amplop sebesar Rp. 10 ribu di Desa Kronjo, Kabupaten Tangerang yang baru-baru ini viral, kemarin adalah prilaku yang patut diduga melanggar Kode Etik Jurnalistik yang tertuang didalam Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Menurut Wakil Ketua Komisi Media, Hubungan Masyarakat (Humas) dan Hubungan Luar Negeri Badan Pengurus Pusat Persatuan Advokat Indonesia (BPP PERADIN), prilaku sejumlah oknum wartawan ini sangat memalukan dan menciderai marwah profesi wartawan. "Pada pasal 6 dalam KEJ jelas disebutkan, bahwa Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Jadi unsur dugaan melanggar kode etik jurnalistik sangat jelas dan terang benerang," tegas Dwi, panggilan Advokat kelahiran Surabaya ini kepada www.beritakeadilan.com.
Berdasarkan pasal 6 dalam KEJ pada huruf a ditafsirkan, menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Kemudian dihuruf b pada Pasal 6 dalam KEJ, menyebutkan: suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Selain itu, Dwi menjelaskan, bahwa Dewan Pers juga pernah menerbitkan Surat Pernyataan No. 01/PDP/VI/2015, tertanggal 18 Juni 2015 tentang Perubahan Atas Pernyataan Dewan Pers No. 12/PDP/X/2001 tentang Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan. "Didalam Surat Pernyataan Dewan Pers menyampaikan beberapa hal, yang dapat dijadikan pegangan bagi masyarakat dan komunitas pers, berkaitan dengan prinsip kerja kewartawanan, diantaranya: Wartawan tidak boleh menggunakan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, serta tidak meminta imbalan dalam mencari informasi. Dalam hal peliputan konfrensi pers, penyelenggara berhak menentukan wartawan dan media yang diundang. Wartawan dan media yang diundang juga berhak untuk datang atau tidak datang memenuhi undangan tersebut.
Dwi menegaskan berdasarkan pernyataan Dewan Pers, tidak mengundang wartawan atau media tertentu dalam suatu konfrensi pers tidak dapat dianggap menghalangi kemerdekaan pers. Jika wartawan atau pers tidak diundang dalam suatu konfrensi pers, yang bersangkutan dapat menggunakan upaya lain untuk memperoleh informasi yang diperlukan dengan tetap berpedoman pada prinsip etika.
Masih Dwi, pada Pasal 2 dalam KEJ menyebutkan, bahwa Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. "Penafsiran Dewan Pers dalam pasal 2, dihuruf c, berbunyi: tidak menyuap.
"Salain pasal 6, disebutkan pasal 1 dalam KEJ bahwa, Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Tidak beritikad buruk berdasarkan penafsiran Dewan Pers adalah tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain," jelas Dwi yang juga dikenal Ketua Komisi Media dan Publikasi Badan Pengurus Wilayah (BPW) Peradin Jawa Timur (Jatim).
Dwi berpendapat, bahwa prilaku para oknum pria yang mengaku wartawan dengan memamerkan uang didalam aplop sebesar Ro. 10 ribu itu, seyogyanya dapat ditindak lanjuti secara serius hingga ke ranah hukum sebagai bentuk penegakan hukum penyalahgunaan profesi wartawan untuk memberikan efek jera, demi marwah profesi wartawan. "Hal itu tidak bisa dibiarkan dan wajib ditindak lanjuti Dewan Pers," tegas Dwi. (red)