Terdakwa Narkoba Lepas Borgol, JPU Kejari Surabaya Diduga Langgar Peraturan Jaksa Agung

SURABAYA (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Tindakan seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya menuai sorotan tajam. Pasalnya, terdakwa kasus narkoba yang telah divonis bersalah, Mustafa Risal, tidak tampak mengenakan borgol saat keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (23/7/2025).
Ketidakterikatan borgol di tangan terdakwa yang jelas-jelas berstatus residivis kasus narkoba, dinilai telah menyalahi ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-005/A/JA/03/2013. Dalam aturan tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa setiap tahanan yang dikawal dari ruang sidang menuju rumah tahanan harus dalam kondisi terborgol demi menjamin keamanan, keselamatan publik, dan mencegah potensi pelarian.
Pantauan langsung di lokasi memperlihatkan Mustafa Risal berjalan santai tanpa borgol di area halaman PN Surabaya. Pemandangan itu tidak hanya mencederai prosedur keamanan, tetapi juga memunculkan dugaan perlakuan khusus oleh oknum JPU Suparlan Hadiyanto terhadap terdakwa yang memiliki rekam jejak kriminal cukup serius.
Dalam sidang yang dipimpin hakim Alex Adam, majelis hakim secara tegas menyatakan bahwa terdakwa Mustafa Risal terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana peredaran narkotika golongan I, sesuai Pasal 114 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Berdasarkan keterangan saksi, bukti-bukti, dan keterangan terdakwa selama persidangan, majelis hakim sepakat dengan dakwaan jaksa,” ujar Hakim Alex saat membacakan amar putusan.
Atas perbuatannya, Mustafa dijatuhi hukuman 7 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp1 miliar, dengan ketentuan subsider 6 bulan kurungan. Namun, tak terima dengan vonis tersebut, Mustafa langsung menyatakan banding di hadapan majelis hakim.
“Saya banding, Yang Mulia,” ujarnya dengan lantang.
Lebih mengejutkan, saat hakim menanyakan apakah dirinya pernah terlibat kasus serupa sebelumnya, Mustafa dengan enteng menjawab, “Iya, Yang Mulia, pernah dalam kasus yang sama.” Diketahui, pada 10 Mei 2022, terdakwa pernah divonis 4 tahun penjara atas kepemilikan 11 butir ekstasi.
Ketidaktegasan penanganan terhadap terdakwa narkoba yang telah berstatus residivis ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap konsistensi penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus narkotika.
Tindakan JPU yang membiarkan terdakwa tanpa borgol bukan hanya menyalahi SOP internal kejaksaan, tetapi juga memberi sinyal lemah terhadap komitmen pemberantasan narkoba yang selama ini digembor-gemborkan aparat penegak hukum.
Perlakuan lunak terhadap residivis narkoba berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat, sekaligus membuka celah munculnya praktik-praktik diskriminatif dalam proses peradilan pidana.
Hingga berita ini diturunkan, JPU Suparlan Hadiyanto maupun Kasi Intel Kejari Surabaya, I Putu, belum memberikan pernyataan resmi terkait alasan tidak diterapkannya pengamanan standar terhadap terdakwa Mustafa.
Publik menanti tanggapan dan klarifikasi dari pihak Kejari Surabaya atas pelanggaran prosedural yang terang-terangan dilakukan dalam kasus ini. (R1F)