Nurlia Dian Paramita: Perbedaan Pendapat adalah Esensi Demokrasi, Tapi Tetap Harus Taat Hukum

JAKARTA PUSAT (Beritakeadilan.com, DKI Jakarta) – Dalam suasana demokrasi yang dinamis, maraknya penyampaian pendapat di muka umum, termasuk melalui media sosial, menjadi fenomena yang tidak terelakkan. Namun, seiring meningkatnya aktivitas masyarakat dalam mengekspresikan opini, tak sedikit pula yang tersandung persoalan hukum, khususnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Akademisi dan pakar hukum, Nurlia Dian Paramita, SH., MH., memberikan pandangannya mengenai pentingnya menyampaikan pendapat secara bijak dan dalam koridor hukum.
Menurut Nurlia, penyampaian pendapat merupakan ciri utama dari negara demokratis. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar, bahkan menjadi bagian yang dijamin oleh konstitusi. “Demokrasi dan penyampaian perbedaan pendapat di muka umum sebetulnya merupakan salah satu syarat dari negara demokrasi. Bahwa berbeda-beda itu wajar, dan masyarakat dijamin hak dan kebebasannya untuk menyampaikan pendapat,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa setiap warga negara berhak menyuarakan ide, gagasan, maupun kritik terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu isu yang belakangan menjadi perhatian publik adalah revisi Undang-Undang TNI dan wacana perubahan Undang-Undang Polri. Kedua isu ini telah memicu keresahan, terutama di kalangan mahasiswa, yang kemudian melakukan aksi unjuk rasa.
“Boleh atau tidak mahasiswa berdemonstrasi? Tentu saja boleh. Kita harus menyampaikan pendapat kita. Tapi yang menjadi penting adalah bagaimana cara menyampaikan pendapat itu tidak merusak fasilitas atau menciptakan kerusuhan,” tegasnya.
Nurlia juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam merespons aspirasi masyarakat. Ia menilai bahwa aksi demonstrasi adalah bentuk kritik konstruktif yang justru perlu dijadikan momen dialog, bukan dimusuhi. Pemerintah, menurutnya, tidak semestinya bersikap antipati atau menutup diri terhadap suara rakyat, khususnya mahasiswa.
“Pemerintah harus memahami tuntutan masyarakat dan mengajak berdiskusi. Ini sesuai dengan semangat Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, yang tidak hanya menjamin kebebasan berpendapat, tetapi juga mengatur agar pemerintah menerima dan merespons suara masyarakat secara adil dan demokratis,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa penyampaian pendapat harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum, seperti pemberitahuan resmi kepada aparat keamanan, serta dilandasi dengan semangat damai dan tidak merusak fasilitas publik. Di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk tidak semata-mata menjalankan kebijakan secara sepihak, tanpa mendengar masukan dari masyarakat.
“Demonstrasi harus dilakukan melalui proses yang sesuai dengan undang-undang. Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, harus bisa menjadi objek yang terbuka terhadap evaluasi masyarakat. Dalam konteks perubahan undang-undang, perlu ada negosiasi dan keterbukaan dalam memahami aspirasi publik,” imbuhnya.
Nurlia menutup pernyataannya dengan ajakan untuk menjaga demokrasi melalui cara yang sehat dan bermartabat. Kebebasan berpendapat harus terus diperjuangkan, namun tetap dalam bingkai tanggung jawab hukum dan etika sosial.
M.NUR