Hakim beri hukuman 1 bulan 15 hari, anak tetap bisa lanjut sekolah
Vonis Ringan Dua Pelajar Kasus Penjarahan DPRD Blitar, Hakim Utamakan Pembinaan
KABUPATEN BLITAR (Beritakeadilan.com, Jawa Timur)-Ruang sidang Pengadilan Negeri Blitar, Selasa (7/10/2025), dipenuhi suasana haru. Dua pelajar berinisial RF dan SP berdiri di hadapan hakim tunggal Aldy Kurniyansa Sudewa, S.H., M.H. dengan wajah tegang.
Mereka bukanlah kriminal dewasa, melainkan anak sekolah yang terseret kasus kerusuhan dan penjarahan di kantor DPRD Kabupaten Blitar.
Dalam putusannya, hakim menjatuhkan vonis 1 bulan 15 hari penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Blitar. Hukuman ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta 2 bulan kurungan.
“Hakim mempertimbangkan usia muda, niat yang tidak sepenuhnya lahir dari kesadaran, serta fakta bahwa mereka hanya ikut-ikutan dalam pusaran kerusuhan yang terjadi,” ujar hakim.
Dok Foto, Orang Tua Kedua Terdakwa Didampingi LBH CAKRA TIRTA MUSTIKA
Kedua pelajar dinyatakan melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-2 dan ke-4 KUHP serta UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Barang bukti yang dihadirkan berupa 2 kg gula pasir merek Rose Brand dan 7 sachet kopi merek Kapal Api.
Hakim memutuskan seluruh barang bukti dikembalikan kepada Sekretariat DPRD Kabupaten Blitar sebagai pihak korban. Sementara itu, orang tua terdakwa diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp5.000, angka simbolis di tengah beban moral yang jauh lebih berat.
Kuasa hukum terdakwa dari LBH Cakra Tirta Mustika, Dwi Heri Mustika, mengaku lega dengan putusan tersebut.
“Alhamdulillah, hakim mempertimbangkan fakta bahwa anak-anak ini tidak berniat merusak. Mereka hanya ikut-ikutan, istilahnya FOMO, terbawa tren yang bahkan viral di media sosial,” jelas Dwi Heri.
Rekan sesama penasihat hukum, Bagus Catur Setiawan, menambahkan bahwa barang bukti yang diajukan jaksa tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta persidangan.
“Jaksa menyebut ada gula putih 2 kg dan 7 sachet kopi. Namun menurut saksi, hanya gula 2 kg yang sempat dibawa karena saat itu dicegat dan diminta orang tak dikenal di depan kantor DPRD. Mereka tidak punya niat jahat, hanya ikut-ikutan dan sebagian tindakannya bahkan diunggah ke TikTok,” tegas Bagus.
Kuasa hukum juga mengajukan permohonan agar kedua pelajar diberikan kesempatan menyelesaikan ujian sekolah selama menjalani hukuman di LPKA.
Permohonan ini menjadi pengingat bahwa proses hukum terhadap anak harus tetap mengutamakan masa depan pendidikan mereka.
Putusan hakim ini menegaskan prinsip peradilan anak yang lebih mengutamakan pembinaan daripada hukuman. Hakim berusaha menyeimbangkan antara memberi efek jera dan membuka peluang bagi kedua pelajar untuk kembali ke bangku sekolah serta menjalani kehidupan yang lebih baik.
Karena telah menjalani masa tahanan sejak 2 September 2025, kedua pelajar diperkirakan akan bebas dalam waktu sekitar delapan hari ke depan.
Vonis ini diharapkan menjadi titik balik bagi mereka untuk menata ulang masa depan.
Kasus ini sekaligus menjadi peringatan bagi generasi muda di era digital, bahwa sikap ikut-ikutan atau mencari sensasi di media sosial dapat berujung pada jerat hukum.
“Perkara ini adalah cermin rapuhnya remaja di hadapan arus tren dan euforia digital. Vonis ringan dari hakim melegakan, namun juga mengingatkan pentingnya pendidikan karakter, literasi digital, dan kesadaran hukum,” kata pengamat hukum anak yang dihubungi terpisah.
(R_win / Okta)